Realitas praktik poligami banyak yang masih melenceng dari kehendak teks al-Qur’an. Muhammad Syahrur salah satu ulama penghujung abad 20 mencoba menarik jaring relasi antara pengertian teks qur’an dan realitas poligami. Disini dia memperkenalkan teori limit (nazariyyah hudūdiyah) yang dianggap memiliki cara pandang baru untuk merekonstruksi konsep poligami, sehingga tampilan poligami adalah solusi permasalahan sosial bukan ajang pemenuhan kebutuhan biologis. Poligami dianggap sebagai sarana untuk memberi perlindungan bagi janda-janda yang mempunyai anak yatim. Karena Syahrur mensyaratkan bagi pelaku poligami untuk mengambil istri kedua, ketiga dan keempat seorang janda yang memiliki anak yatim. Berbeda dengan syarat poligami dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia seorang pria yang berpoligami wajib mengajukan permohonan terlebih dulu ke pengadilan, sedangkan permohonan itu didapatkan dari pengadilan harus memenuhi persyaratan pokok diantaranya ketidakfungsinya seorang istri. Secara umum pemikiran Syahrur sejalan dengan apa yang diupayakan pemerintah Indonesia, yakni mendudukkan poligami dalam posisi antara diperbolehkan tetapi dipersulit. tetapi secara khusus pandangan syahrur berbeda terutama adanya syarat melindungi anak yatim (dari istri kedua dan seterusnya) pada perkawinan poligami. Ini bisa dijadikan perhatian dalam penyusunan UU Perkawinan, penambahan syarat anak menjadi faktor pertimbangan yang kuat dalam proses poligami. Sehingga pelaku poligami yang mengakibatkan anak menjadi terlantar bisa ditindak pemerintah.
Keywords
rekonstruksi konsep poligami, teori limit syahrur, UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Mailing Adress: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau H. R. Soebrantas Street, No.155 KM 18, Kelurahan Tuah Madani, Kecamatan Tuah Madani Pekanbaru - Riau, 28293