PENGATURAN PENCEGAHAN UANG HASIL KEJAHATAN DALAM KEGIATAN INVESTASI USAHA
Abstract
Oleh : Muhammad Fathra Fahasta
Pembimbing I : Dr. Firdaus., SH., MH
Pembimbing II : Dr. Erdianto., SH., M.Hum
Alamat : Jl. Hangtuah No. 2 Pekanbaru
Email : advokatfathra@gmail.com
Hp : 081169 000 77
ABSTRACT
Evil is an act committed by a person or group of persons whose nature harms others. At this time the crimes are much developed either in the form of Corruption, Narcotics or other crimes. Along with the level of crime, the Government seeks to do the prevention and eradication with the rules of law to overcome it. Then from that writer do research about Stipulation of Money Result Of Crime In Business Investment Activity, this arise from writer observation either through mass media, development of crime rate of various forms lost the origin of crime in good way in the form of activity of Business Investment, join in Capital Market etc. Of these problems was born Law No. 15 of 2002, Law No. 25 of 2003, and Law No. 8 of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering Crime.This type of research is in the form of normative juridical based on data secondary and supported by juridical historical and juridical approach of comparative. The regulation of prevention and eradication of crime of Crime in Business Investment activity has been changed will change the level of corruption, Narcotics and other crimes are still relatively high. So it can be said that prevention and eradication arrangements that are currently not effective in prevention and pemasannya, because the role of PPATK still waiting for reports from the relevant agencies.
Keywords : Prevention Settings, Barriers to a Crime.
ABSTRAK
Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang sifatnya merugikan orang lain ataupun negara. Pada saat ini kejahatan-kejahatan banyak berkembang baik itu dalam bentuk Korupsi, Narkotika maupun kejahatan lainnya. Seiring dengan tingginya tingkatnya kejahatan maka Pemerintah berusaha untuk melakukan pencgahan-pecegahan maupun pemberantasan dengan menerbitkan peraturan-peraturan ataupun Undang-Undang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kemudian daripada itu penulis melakukan penelitian tentang Pengaturan Pencehan Uang Hasil Kejahatan Dalam Kegiatan Investasi Usaha, permasalahan ini timbul dari pengamatan penulis baik melalui media masa, perkembangan tingkat kejahatan berbagai macam bentuk yang menghilang kejahatan asal dengan bermacam cara baik itu dalam bentuk kegiatan Investasi Usaha, bergabung dalam Pasar Modal dan lain sebagainya. Dari permasalah-permasalahan tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Permberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Jenis penelitian ini dalam bentuk yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan ditunjang dengan pendekatan yuridis historis dan yuridis komparatif.
Peraturan pencegahan dan pemberantasan mengenai kejahatan Tindak Pidana dalam kegiatan Investasi Usaha sudah mengalami perubahan-perubahan akan tetapi tingkat kejatan Korupsi, Narkotika dan kejahatan lainnya masih relatif tinggi. Maka dapat dikatakan pengaturan pencegahan dan pemberantasan yang ada saat ini belum efektif dalam pencegahan dan pemberantasannya, karena peranan PPATK masih bersifat menunggu laporan dari instasi-instansi yang terkait.
Kata Kunci : Pengaturan Pencegahan, Hambatan Suatu Kejahatan.
A. Pendahuluan
Kejahatan merupakan prilaku dan perbuatan manusia yang di lakukan pada orang lain atau pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang pada prinsipnya mengutungkan bagi yang melakukannya, sedangkan kejahatan itu berkembang seiring dengan kemajuan peradaban manusia. Pada dekade saat ini dengan kemajuan teknologi dan globalisasi keuangan menyebabkan transaksi dalam negeri dan antarnegara dimungkinkan berlangsung hanya beberapa detik.[1]
Secara formal, upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia dimulai pada tanggal 17 April 2002 yaitu saat diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sesungguhnya, tahapan pencegahan pencucian uang sudah dilakukan sebelum undang-undang tersebut lahir namun lingkupnya hanya terbatas pada Bank. Hal ini dapat ditunjukkan melalui seperangkat regulasi yang dikeluarkan oleh otoritas perbankan yang lebih dikenal dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah. Urgensi pengaturan ini, tentu didasari oleh alasan yang kuat terutama mengenai dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang dalam perekonomian dan untuk memenuhi prinsip-prinsip pengawasan Bank secara efektif sesuai standar Internasional.
Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa aktifitas pencucian uang secara umum merupakan suatu cara menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana sehingga nampak seolah-olah harta kekayaan dari hasil tindak pidana tersebut sebagai hasil kegiatan yang sah. Lebih rinci di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU), pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Kemudian dari pada itu untuk mengatasi terjadinya seseorang melakukan tindakan kejahatan pencucian uang maka Pemerintah menerbitkan suatu peraturan tentang pengaturan pencegahan tindak pidana pencucian uang yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dan Undang-Undang ini membetuk suatu lembaga yang bersifat independen yang di tegaskan dalam Pasa 1 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut :
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa pencegahan dan pemberantasan Money Laundering tidak cukup dilakukan dengan cara konvensional, harus dilakukan dengan cara yang berbeda dan di luar kelaziman penanggulangan kejahatan lainnya.[2] Salah satu upaya yang dapat dilakukan tersebut adalah mendorong agar hukum mampu berperan dalam upaya menciptakan kontrol guna mencegah hasil tindak pidana pencucian uang untuk dinikmati oleh para penjahat, di samping itu upaya ini merupakan bentuk dari asset recovery (pengamanan aset).
Kemudian Andrew Haynes mengatakan bahwa paradigma baru dalam pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan nafsu dan motivasi pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan, dengan cara menghalanginya untuk menikmati hasil atau buah dari kejahatan yang dilakukannya.[3]
Dalam kegiatan usaha maupun kegiatan investasi di atur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sedangkan dalam penanaman modal maupun dalam bentuk saham diatur dalam pasal 31 yakni :
(1) Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mengatur modal Perseroan terdiri atas saham tanpa nilai nominal. Sedangkan nilai nominal maupun besarnya penanaman modal dalam Perseroan Terbatas tersebut diatur dalam pasal 32
(1) Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan pemerintah.[4]
Dalam penelitian ini penulis mengadakan penelitian tentang pengaturan pencegahan tindak kejahatan pidana yang berusaha mengaburkan hasil tindak kejahatannya dalam bentuk investasi usaha maka dengan permasalah-maslahn tersebut yang telah duraikan di atas untuk itu penulis memberikan judul dengan dalam penelitian ini “Pengaturan Pencegahan Uang Hasil Kejahatan Dalam Kegiatan Investasi Usaha”.
- B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang tersebut di atas tentang pengaturan pencegahan uang hasil kejahatan dalam kegiatan investasi usaha maka dalam penelitian ini penulis menarik dan merumuskan suatu masalah sebagai berikut :
- Bagaiamanakah pengaturan pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dalam kegiatan investasi usaha?
- Bagaimanakah upaya yang harus di lakukan dalam pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kegiatan Investasi usaha?
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah dalam suatu penelitian maka tujuan penelitian sebagai berikut :
- Untuk mengetahui pengaturan pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dalam kegiatan investasi usaha.
- Untuk mengetahui upaya yang harus di lakukan dalam pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kegiatan investasi usaha.
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
- Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau bahan pertimbangan bagi legislatif dalam merumuskan hukum pidana terhadap pelaku pelaku Tindak Pidana dalam kegiatan Investasi Usaha.
- Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran berupa konsep, metode atau teori dalam studi ilmu hukum, khususnya yang menyangkut tindak pidana dalam kegiatan Investasi Usaha bagi penegak Hukum maupun kebijaksanaan Legislatif dalam merumuskan Hukum Pidana yang berkaitan dengan Money Laundering pada masa yang akan datang.
E. Kerangka Teori
1. Teori Hukum Pidana
Dalam Hukum Pidana terdapat sejumlah teori,[5] diantaranya; Teori individualisasi; maksudnya adalah kealpaan seseorang itu sendiri sehingga menyebabkan adanya korban. Contoh lainnya seperti kita menyalahkan seorang suami karena menyiksa istrinya hingga pecah ginjalnya. Hal ini bisa diteliti dengan apakah adanya faktor internal atau eksternal akibat siksaan suaminya.
Teori objektif; adalah dimana di luar pengetahuan si pelaku. Maksudnya adalah seorang perawat yang menjaga pasien dituduh mengakibatkan meninggalnya pasien tersebut. Padahal sebelum pasien tersebut meninggal ada yang memberikannya racun dan hal ini menjadi pertimbangan kembali.
Teori relevansi; tidak membedakan antara musabab dan syarat tetapi dengan merumuskan delik yang bersangkutan. Maksudnya adalah bukan mengenai hubungan kausal tetapi mengenai penafsiran undang-undang. Hubungan kausal kelakuan negatif dalam logis adalah apakah akibat yang dilarang dapat dikatakan timbul dari adanya tidak berbuat sesuatu atau berbuat sesuatu. Maka jika perbuatan sesuatu itu timbul dan ada akibatnya disitulah ada hubungan kausal dengan kelakuan negatif.
2. Teori Pertanggung Jawaban Pidana
Dalam KUHP tidak dikenal mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf. Hanya dikenal alasan-alasan yang menghapuskan pidana yang termaktub dalam teori hukum pidana.[6] Alasan penghapus pidana menurut M. v. T adalah alasan yang terdapat dalam batin terdakwa (pasal 44 KUHP) dan alasan-alasan di luar (pasal 48-51 KUHP). Dan terdapat pula penghapusan pidana khusus. Tentang daya paksa (overmacht) maksudnya adalah siapapun yang melakukan tindak pidana karena faktor diluar/dipaksa tidak dipidana. Daya paksa merupakan alasan pembenar.
Selanjutnya adalah menyangkut pembelaan terpaksa (noodwear). Siapapun yang melawan hukum dan melakukan tindak pidana karena diancam menyangkut kehormatan kesusilaan dan harta bendanya sendiri maupun orang lain tidak dipidana. Adapula alas an lain tentang pelaksanaan undang-undang perintah jabatan. Contohnya seorang pegawai diminta untuk melakukan suatu perbuatan. Maka pegawai tersebut harus mengetahui dulu dampak dari apa yang diperintahkan. Apabila yang diperintahkan berujung dengan suatu tindak pidana, maka atasannya bisa dimintai pertanggung jawaban.
Pertanggung jawaban pidana tidak dapat dibebankan misalnya pada orang yang kurang waras jiwanya, anak-anak yang perbuatannya menimbulkan kerugian pada masyarakat karena ia belum mengetahui, ataupun seperti kecelakaan di jalan raya bukan karena kealpaan pengemudi ataupun kesengajaan. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan apabila perbuatan pidana tersebut sifatnya melawan hukum, di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab, kesengajaan atau kelapaannya, dan tidak adanya alasan pemaaf.
F. Metode Penelitian
Menurut Sunaryati Hartono, metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan berfikir yang logis-analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum yang tertentu.[7]
G. Pembahasan
- 1. Pengaturan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Kegiatan Investasi Usaha.
- A. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Bahwa kewenangan melakukan penyelidikan terhadap atau untuk Tindak Pidana Korupsi,bagi penyidik KPK didasarkan pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tenyang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya dasar hukum untuk melaksanakan Penyidikan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari tindak pidana korupsi yang penyidikannya ditangani oleh Penyidik KPK merujuk pada Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi dan selebihnya mengacu pada KUHAP.
Penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah mempperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimadsud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Disamping itu dalam usaha pencegahan tindak pidana dalan kegiatan investasi usaha dapat dilakukan melalui Pendekatan sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya keuangan menunjukkan bahwa kelemahan yang mendasar dalam sektor ini sangat menentukan kinerja pelaksanaan strategi pemberantasan korupsi. Sumber daya manusia terutama yang melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi harus didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai dengan anggaran yang cukup. Mereka harus memiliki kemampuan, kejujuran, integritas serta tanggung jawab, dan sudah tentu dengan tidak melupakan faktor kesejahteraan. Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi ini memerlukan dukungan yang luas dan kuat dari seluruh masyarakat, termasuk dukungan terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang komit dengan usaha pemberantasan korupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Anti Korupsi (MAK).
Upaya pencegahan korupsi yang berhubungan dengan money laundering di Indonesia harus dimulai dengan pemahaman terhadap eksistensi korupsi itu sendiri. Kondisi faktual yang ada sampai sekarang menunjukkan bahwa dalam upaya penegakan hukum terhadap korupsi, masih ada perbedaan pemahaman antara masyarakat, pemerintah dan dunia usaha tentang eksistensi korupsi. Perbedaan ini adalah konsekuensi dari adanya perbedaan cara pandang, kepentingan dan pengetahuan. Oleh sebab itu, sosialisasi tentang eksistensi korupsi kepada semua lapisan masyarakat sangat penting untuk membangun kesamaan visi dan misi dalam memandang korupsi sebagai musuh bersama (common enemy).
B. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan dalam melaksanakan tugasnya di atur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2011. Sedangkan tugas pokok PPATK adalah memberantas dan mencegah tindak pidana pencucian uang.
Keterbatasan regulasi yang terkait dengan pengaturan kelembagaan, dirasakan membuat lembaga ini tidak dapat memaksimalkan peran dan fungsinya.Sementara itu maraknya kasus-kasus pencucian uang yang terjadi akhir-akhir ini sangat meresahkan masyarakat. Kelemahan dalam perundang-undangan inilah yang dimanfaatkan pelaku untuk tidak takut melakukan tindak pidana pencucian uang. Bahkan pelaku dengan sengaja membawa lari hasil kejahatan ke luar negeri supaya tidak dapat tersentuh aparat penegak hukum. Kenyataan nilah yang kemudian membuat pemerintah untuk sesegera mungkin memperbaiki ketentuan yang ada. Sementara ketentuan baru yang membutuhkan ketentuan pendukung, juga belum sesegera mungkin direalisir.Sehingga yang terjadi undang-undang yang baru seakan-akan tidak mampu menghadapi persoalan yang semakin kompleks. Kerjasama yang menjadi sebuah solusi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, memang banyak mengalami kendala teknis dalam pelaksanaannya. Sehingga kerjasama yang selama ini terjadi hanya bersifat formalitas dan belum menunjukkan ke arah meningkatnya penanganannya tindak pidana pencucian uang. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan pengembalian asset ke tanah air yang selama ini diusahakan oleh pemerintah melalui jalur kerjasama dengan luar negeri. Banyak aset-aset yang ditempatkan di luar negeri yang tidak mampu di bawa kembali ke tanah air dengan alasan karena perbedaan sistem hukum, dan ketidak mampuan diplomasi pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara dimana aset di tempatkan.
Disamping itu kejahatan yang di lakukan oleh koruptor untuk menghilangkan jejaknya yang lazim di sebut money laundering yang empuk dalam bidang usaha yakni pada Pasar Modal, dan Proses Pencucian Uang dari Hasil Kejahatan Tindak Pidana Korupsi dapat di lakukan bermacam cara, untuk megetahui cara-cara tersebut dapat dilihat dari uraian sebagai berikut :
- Modus Pencucian Uang Di Pasar Modal
Segenap tindak pidana di pasar modal berkaitan dengan pencucian uang. Pengertian tindak pidana pencucian uang di pasar modal mengandung makna bahwa, pencucian uang dapat dilakukan atas harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana, berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang TPPU. Selain itu, tindak pidana asal dapat pula berupa tindak pidana lainnya di luar tindak pidana pasar modal, sehingga dengan demikian, diperoleh pemahaman bahwa pencucian uang di pasar modal dapat bermakna, Pencucian uang di pasar modal atas hasil tindak Pidana pasar modal; atau Pencucian uang di pasar modal atas tindak pidana lainnya seperti korupsi, pembalakan liar, penipuan, bisnis narkoba, dan lain-lain.
- Ada beberapa poin yg perlu digaris bawahi kenapa seseorang itu melakukan tindak pidana pencucian uang dalam pasar modal :
- Perdagangan di pasar saham/modal itu sifatnya internasional, itu mendasari seseorang bisa membeli saham di mana pun (artinya seseorang bisa melakukan, membeli saham di mana saja). Ada kemungkinan jika koruptor yang dari Indonesia bisa membeli saham di negara yang sistem keuangannya lemah dan sebaliknya.
- Instrument yang diperdagangkan dalam pasar modal antara lain seperti saham, reksa dana, yangg sifatnya liquid (mudah diuangkan,dicairkan, dibeli atau mudah dijual).
- Kompetisi pelaku dalam pasar modal itu sangat kompetitif, maksudnya pelaku industri dalam pasar modal seperti bursa efek, majemen infestasi (broker), dan infestor yang punya banyak uang, dikatakan sangat kompetitif contonya ketika ada seorang agen sebagai perusahaan efek ingin membeli efek itu sendiri tanpa memperhatikan keabsahan/legalitas uang dari investor, yang terpenting ialah keuntungan dari membeli saham lebih diutamakan sebelum dibeli oleh infestor lain, itulah yang mendorong orang untuk melakukan tindak pidana pencucian uang tanpa ada yang memperhatikan dari mana asal-usul uang tersebut.
- Dalam pembelian produk-produk dalam pasar modal antara lain seperti saham, itu biasanya menggunakan nama orang lain, memakai nama orang lain, atau menyuruh orang lain menggunakan namanya tanpa mesti bertanya-tanya asal usul uangnya.
- Proses Pencucian Uang dari Hasil Kejahatan Tindak Pidana Korupsi
Proses pencucian uang dari hasil tindak pidana korupsi pada hakikatnya adalah sama dengan proses pencucian uang dari hasil kejahatan-kejahatan lain yang tergolong sebagai predicate crime sebagaimana dimuat dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang, hasil tindak pidana korupsi tidak memiliki perbedaan yang khusus dengan proses pencucian uang dari hasil kejahatan lainnya seperti halnya narkotika maupun terorisme. Seseorang atau organisasi kejahatan melakukan pencucian uang sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tujuannya adalah agar asal-usul uang tersebut tidak dapat diketahui atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.
C. Kepolisian
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), salah satu institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain dalam KUHAP, kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik untuk mengungkap tindak pidana, ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan: melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Untuk mencari jalan keluar dalam rangka mencegah dan menanggulangi tindak pidana pencucian uang oleh Kepolisian terdapat upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a.Upaya Pre-entif
b. Upaya Preventif
c. Upaya Represif
Upaya Pre-Entif disini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-entif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-entif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.[8]
Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Entif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan.[9]
Tindakan Represif ialah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana. Telah dikemukakan di atas, bahwa tindakan represif sebenarnya juga dapat dipandang sebagai preventif dalam arti luas. Termasuk tindakan represif adalah penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya sampai dilaksanakannya. [10]
2. Upaya yang harus di lakukan dalam pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kegiatan Investasi usaha.
Dalam pembahasan upaya penecgahan penulis terlebih dahulu memaparkan perturan-peraturan yang telah ada dalam upaya pencegahan Tindak Pidana, baik kejahatan penggelapan atau pengalihan dalam bentuk Investasi usaha, untuk lebih jelasnya penulis uraikan sebagai berikut :
1. Peraturan Perundang-undangan
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Aturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana korupsi telah ada jauh sebelum kemerdekaan, hal ini dapat dilihat dari sederetan pasal dalam KUHP yang mengancam hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu pasal 209; 210; 387; 388 dan pasal 416; 417; 418; 435 KUHP. Kaidah hukum yang tercantum di dalam pasal-pasal tersebut sebetulnya cukup representative sebagai tindakan represif bagi perbuatan korupsi, asalkan kaidah-kaidah tersebut betul-betul ditegakkan. Tetapi timbul permasalahan dalam hal penegakannya, sehingga pasal-pasal tersebut dianggap ketinggalan jaman dan tidak actual lagi untuk dijadikan instrumen pencegahan dan pemberantasan korupsi.
b. Aturan Hukum di luar KUHP
Pada tahun 1958 di tengah merajalelanya praktek korupsi saat itu pemerintah RIS membuat aturan khusus di luar KUHP yaitu Peraturan Penguasa Perang Nomor : Prt/Perpu/031/1958 tanggal 16 April 1958, yang tujuan utamanya untuk lebih berfungsinya aturan hukum untuk pemberantasan korupsi. Peraturan ini disertai dengan kaidah atau norma yang tujuannya untuk menjaring koruptor dari jalur pemidanaan dan dari jalur keperdataan, serta dilengkapi dengan upaya disediakannya daftar harta kekayaan pejabat sebagai instrumen preventifnya. Dengan strategi yang bersifat sporadic tersebut maka diharapkan hukum akan lebih efektif dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi. Secara teoritik tentunya untuk efektifitas aturan hukum tersebut tetap sangat membutuhkan dukungan kemampuan kinerja para penegak hukum dan dukungan masyarakat.
Berikutnya pada tahun 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini juga bermaksud untuk lebih menekankan pemberian sanksi berat bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu dengan pidana seumur hidup.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pada penyidikan hanya wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya baik kepunyaan suami/isteri, anak atau setiap orang atau korporasi yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Rumusan tersebut jelas menyulitkan jaksa atau penyidik lainnya dalam menyelamatkan jaksa atau penyidik lainnya dalam menyelamatkan asset negara yang di korupsi, sebaliknya memudahkan bagi tersangka untuk menyembunyikan atau memindahtangankan kekayaan hasil korupsi kepada pihak ketiga.
2. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kegiatan Investasi usaha.
Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan secara kolektif, baik oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) maupun Badan Pengawas Pasar Modal.
Penyedia jasa keuangan juga wajib melakukan verifikasi yang lebih ketat terhadap calon nasabah yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap praktik pencucian uang. Tingkat risiko tersebut dapat dilihat dari:
a. Latar belakang atau profil nasabah yang secara politik menjadi perhatian masyarakat (politically exposed person);
b. Bidang usaha yang potensial digunakan sebagai saran pencucian uang (high risk business);
c. Asal negara nasabah yang potensial digunakan sebagai sarana pencucian uang (high risk countries).
Pemegang peranan kunci dari mekanisme pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia ada di tangan sebuah lembaga yang disebut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau disingkat dengan sebutan PPATK. Nama lengkap lembaga ini dalam bahasa Inggris adalah Indonesia Financial Transaction Reports and Analysis Centre.
3. Pencucian Uang Menurut Hukum Islam
Pencucian uang menurut Hukum Islam suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang adalah Haram karena perbuatan tersebut dalam usaha mengenmbangkan usaha modal dasarnya diperoleh melalui perbuatan yang tidak benar yang bersumber dari hak-hak orang atau negara, sesuai dengan QS.an-nissa : 29-30, kemudian daripada itu dapat ditelaah tentang pencucian menurut hukum Islam, akan diuraikan terlebih dahulu tentang uang dalam konsep Islam.
Menurut Gufron A. Mas'adi[11] dalam hukum Islam fungsi uang sebagai alat tukar menukar diterima secara luas. Penerimaan ini disebabkan fungsi uang ini dirasakan dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam sistem perdagangan barter. Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang berkembang sekarang ini fungsi uang diakui sebagai alat tukar, komoditas (hajat hidup yang bersifat terbatas), dan modal. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sarna dengan barang dapat dijadikan sebagai objek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba).
Selanjutnya dikatakan bahwa penolakan fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal mengandung implikasi yang sangat besar dalam rancang bangun sistem ekonomi Islam. Kedua fungsi tersebut oleh kelompok yang menyangkalnya dipandang sebagai prinsip yang membedakan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi non-Islam (konvensional). Atas dasar prinsip ini mereka menjatuhkan keharaman terhadap setiap (perputaran) transaksi uang yang disertai keuntungan (laba atau bunga) sebagai praktik riba.
Pencucian uang merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi. Berkaitan dengan kegiatan ekonomi, Islam memandang sebagai salah satu aspek dari seluruh risalah Islam. Hal ini terlihat secara jelas dalam prinsip dan ciri-ciri ekonomi Islam, bahkan pada etika bisnis dalam Islam.
Ciri-ciri Ekonomi Islam dikemukakan oleh Ahmad Muhammad Al'AssaI dan Fathi Ahmad Abdul Karim dalam bukunya.[12] Menurutnya Ekonomi Islam mempunyai ciri-ciri khusus, yang membedakannya dari ekonomi hasil penemuan manusia. Ciri-ciri tersebut jika diringkas adalah sebagai berikut :
a. Ekonomi Islam merupakan Bagian dari Sistem Islam yang Menyeluruh Ekonomi hasil penemuan manusia, dengan sebab situasi kelahirannya, benar-benar terpisah dari agama. Hal terpenting yang membedakan ekonomi Islam adalah hubungannya yang sempurna dengan agama Islam, baik sebagai akidah maupun syariat. Oleh karena itu adalah tidak mungkin untuk mempelajari ekonomi Islam terlepas dari akidah dan syariat Islam karena sistem ekonomi Islam merupakan bagian dari syariat dan erat hubungannya dengan akidah sebagai dasar.
b. Kegiatan Ekonomi dalam Islam Bersifat Pengabdian
Sesuai dengan akidah umum, kegiatan ekonomi menurut Islam berbeda dengan kegiatan ekonomi dalam sistem-sistem hasil penemuan manusia, seperti kapitalisme dan sosialisme. Kegiatan ekonomi bisa saja berubah dari kegiatan material semata-mata menjadi ibadah yang akan mendapatkan pahala bila dalam kegiatannya itu mengharapkan wajah Allah SWT, dan ia mengubah niatnya demi keridhaanNya.
c. Kegiatan Ekonomi dalam Islam Bercita-cita Luhur
Sistem hasil penemuan manusia (kapitalisme dan sosialisme), bertujuan untuk memberikan keuntungan material semata-mata bagi pengikut-pengikutnya. Itulah cita-cita dan tujuan ilmunya.
d. Pengawasan terhadap Pelaksanaan Kegiatan Ekonomi dalam Islam adalah pengawasan yang sebenamya, yang mendapat kedudukan utama Dalam ekonomi Islam, di samping adanya pengawasan syariat yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada pula pengawasan yang lebih ketat dan lebih aktif, yakni pengawasan dari hati nurani yang terbina atas kepercayaan akan adanya Allah dan perhitungan hari akhir.
e. Ekonomi Islam Merealisasikan Keseimbangan antara Kepentingan Individu dan Kepentingan Masyarakat.
Selanjutnya M. Husein Sawit mengemukakan Prinsip-prinsip Ekonomi Islam :
a. Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumberdaya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia, sebagai orang yang dipercaya-Nya. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam berproduksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan orang lain dan yang terpenting kegiatan tersebut akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk pemilikan alat produksi atau faktor produksi. Akan tetapi hak pemilikan individu tidak mutlak dan tidak bersyarat.
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama, ini berbeda sekali dengan sistem pasar bebas dalam mencapai tingkat keseimbangan di berbagai bidang.
d. Peranan pemilikan kekayaan pribadi harus berperan, yaitu sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
e. Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak.
f.. Seorang muslim harus takut kepada Allah dan hari penentuan/akhirat seperti diutarakan dalam AI-Qur'an: "Dan takutilah hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diberi balasan dengan sempurna sesuai usahanya (amal ibadahnya). Dan mereka tidak teraniaya” (Q.S. 2:281).
Setiap orang boleh berusaha dan menikmati hasil usahanya dan harus memberikan sebagian kecil hasil usahanya itu kepada orang yang tidak mampu, yang diberikan itu adalah harta yang baik. Allah SWT sangat murah, maka disediakanlah alam semesta ini untuk keperluan manusia. Selanjutnya akan diuraikan prinsip-prinsip ekonomi Islam, yaitu :
a. Tidak boleh melampaui batas, hingga membahayakan kesehatan lahir dan batin manusia, diri sendiri, maupun orang lain (AI Quran surat Al-A'raf ayat 31 ).
b. Tidak boleh menimbun-nimbun harta tanpa bermanfaat bagi sesama manusia (Al Quran surat At-Taubah ayat 34).
c. Memberikan zakat kepada yang berhak (mustahiq).
d. Jangan memiliki harta orang lain tanpa sah.
e. Mengharamkan riba, menghalalkan dagang.
f. Menyongsong dagangan di luar kota.
Betapa pentingnya kelancaran jalannya pasar bebas dipandang oleh Islam, hingga tidak boleh diganggu oleh faktor-faktor yang merintangi lancarnya jalan itu, seperti misalnya konkurensi yang tidak jujur, yang disebabkan oleh hawa nafsu dan ketamakan, nyata benar dari berbagai hadist
Dari Ciri-ciri dan prinsip-prinsip ekonomi Islam, Islam memberikan pula kaedah penuntun pelaksaan ekonomi Islam melalui etika bisnis. Menurut Miftah Faried.[13] Kerja keras mencari nafkah dinilai oleh Islam sebagai Ibadah, amal shalih, jihad dan penghapus dosa kesalahan. Indikator kesalihan seorang muslim antara lain tampak pada :
- kompetitif (sabiqun bilkhoirot )
- banyak manfaat untuk orang lain (Anfa 'uhum lannas)
- banyak meminta kepada Allah serta gemar memberi kepada orang lain
- ramah (rahmatan lil alamain)
- amanah (jujur)
Nilai-nilai tersebut harus tercermin pada setiap aspek kehidupan termasuk pada aktivitas bisnis.
Etika Kerja/Bisnis seorang muslim:
a. Dilarang menempuh jalan yang dapat :
1) melupakan mati (Q.S.At Takasur)
2) melupakan zikrillah (Q.S. Al Munafiqun)
3) Melupakan Shalat dan Zakat (Q.S.An Nur 37)
4) Memusatkan kekayaan hanya pada kelompok orang-orang kaya saja (Q.S. AI Hasyr 7 )
b. Dilarang menempuh usaha yang haram seperti :
1) Riba (Q.S. AI baqarah 275)
2) Judi (Q.S.Al Maidah 90)
3) Curang (Q.S.AI Muthaffifin 1-4)
4) Curi (Q.S. AI AI Maidah 38)
5) Jahati, bathil, Dosa (Q.S. AI baqarah 188 dan Q.S.An Nisa 29)
6) Suap menyuap
7) Mempersulit pihak lain (H.R.Bukhori)
Dengan mengkaji ciri-ciri, prinsip-prinsip, dan etika bisnis Islam, maka dapat diketahui bahwa pencucian uang termasuk katagori perbuatan yang diharamkan karena dua hal; pertama dari proses memperolehnya, uang diperoleh melalui perbuatan yang diharamkan (misalnya dari judi, perjualan narkoba, korupsi, atau perbuatan curang lainnya) dan proses pencuciannya, kedua yaitu berupaya menyembunyikan uang hasil kemaksiatan dan bahkan menimbulkan kemaksiatan dan kemudharatan berikutnya.
H. Penutup
1. Kesimpulan
- Dengan tingginya tingkat kejahatan baik dalam bentuk Korupsi, Narkotika dan lain sebagainya yang dilakukan secara individu maupun kelompok, sedangkan hasil kejahatan tersebut dikaburkan dari yang tidak sah menjadi sah, baik dalam bentuk kegiatan Investasi Usaha maupun dalam bentuk penyimpanan melalui Perbankan, sedangkan prilaku tersebut lazim di kenal dengan Tindak Pidana Money Laundering. Untuk itu Pemerintah berusaha mencegah dan memberantasnya maka secara formal upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di mulai pada tanggal 17 April dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, dan untuk penyempurnaan pencegahan dan pemberantasan Money Laundering maka diadakan perubahan lagi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
- Kejahatan Money Laundering suatu sistim kejahatan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang berusaha mengaburkan kejahatan asal dengan cara tidak terbatas oleh suatu negara, biasanya penyimpanan melalui Perbankan dengan menggunakan nama-nama orang tertentu, sedangkan cara yang demikian sudah tercium oleh penegak hukum. Maka cara lain yang di lakukan pada saat ini dengan cara menginvestasikan uang haram tersebut pada kegiatan-kegiatan Investasi Usaha baik pada Pasar Modal maupun Perusahaan-perusahaan yang dianggap bisa melindungi uang haram tersebut, sedangkan pelaku biasanya tidak mengejar keuntungan dari usaha mereka, melainkan mengamankan uang-uang hasil kejahatan tersebut.
- Peranan Pusat Pelaporan Analis Transaksi Kuangan (PPATK) dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sangat berperanan, namun dalam pelaksanaanya sering mengalami permasalahan, dalam hal ini dapat dibuktikan dengan masih tingginya tingkat kejahatan Korupsi, Narkotika dan lainnya. Hal ini disebabkan PPATK dalam melaksanakan tugasnya hanya menerima hasil laporan dari pihak Pemberi Jasa Keuangan, Perbankan, dan Bea dan Cukai maka sistim ini sangat sulit untuk melakukan pencegahan dan pemberansan kejahatan tersebut.
2. Saran
- Perlu di adakan perubahan pada Pasal-Pasal tertentu dengan memasukkan Pusat Pelaporan Analis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk berdiri sendiri melalukan pencegahan dan pemberantasan hasil-hasil kejahatan dari unsur pengimpunan data keuangan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan dengan berkerjasama pada unsur-unsur tertentu untuk di Analisa dan diberikan kepada Penegak Hukum. Dalam hal ini PPATK tidak menerima laporan dari pemberi Jasa Keuangan, Perbankan, dan Bea dan Cukai.
- Transparansi transaksi keuangan yang dilakukan oleh nasah Perbankan dengan nilai Rp 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah) ke atas secara langsung terkoneksi data tersebut ke pihak PPATK.
- Dalam Pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mencatat Indentitas Keluarga, maupun harta kekayaan yang di milikinya maupun keluarganya, sehingga data kekayaan Penduduk Indonesia bisa di ketahui secara dini dan dapat di akses oleh siapa pun.
[1] Weingast, B.R, The economic role of political institutions : market-preserving federalism and economic development, Journal of Law, Economics, and Organization 11 (1), 1995, hlm.1–31.
[2] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 127.
[3] Dikutip dari paper yang ditulis untuk mendukung Delegasi RI Pada Forthy-Seventh Session of The Comision on Narcotic Drugs, diselenggarakan di Wina 15-22 Maret 2004, hlm. 2.
[4] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[5] Ibid, hlm 107.
[6] Ibid, hlm 148.
[7] Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke- 20,
Alumni, Bandung, 1994. hlm. 105.
[8] http://digilib.unila.ac.id/6264/13/BAB%20I.pdf diakses pada 26 Oktober 2017
[9] Ibid.
[10] http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/12/16/135728/bi- gandeng-poldasu-awasi-transaksi-valas-di-sumut/diakses pada 26 Oktober 2017
[11] GufTon A. Mas'di. Fiqh Aluamlah Kontekslual. Radja Grafindo Persada bekerjasama dengan IArN Walisongo Semarang,2002, hlm 14 – 15.
[12] Ahmad Muhammad AI 'AssaI dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Pustaka Setia. Bandung, 1999, hlm. 23
[13] Miftah Fariedl, Konsep dan Etika Bisnis Perbankan Syariah. Makalah pada Seminar Nasional Perbankan Syariah, LPPM UNPAD dan BI, Bandung, 13 Oktober 2000, hIm. 1
References
I. Daftar Pustaka
Buku
Amirudin & Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Ahmad Muhammad AI 'AssaI dan Fathi Ahmad Abdul Karim, 1999, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Pustaka Setia. Bandung.
Barda Nawawi Arief, 2000, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang.
, 2008, Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta.
, 2008, Perbandingan Hukum Pidana, RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
GufTon A. Mas'di, 2002, Fiqh Aluamlah Kontekslual, Radja Grafindo Persada bekerjasama dengan IArN Walisongo Semarang,2002.
Jhon Dombrink, dalam Thomas Barker & David L. 1999 Carter, Police Deviance (Penyimpangan Polisi), Cipta Manunggal, Jakarta.
M. Solly Lubis, 1985, Pembahasan UUD 45, Alumni, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Miftah Fariedl, 2000, Konsep dan Etika Bisnis Perbankan Syariah. Makalah pada Seminar Nasional Perbankan Syariah, LPPM UNPAD dan BI, Bandung.
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang.
, 2008, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi,Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Robert Klitgaard (diterjemahkan oleh Yayasan Obor), 1998, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
(alih bahasa oleh Masri Maris), 2005, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta
Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1983, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RadjaGrafindo Persada, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta.
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke- 20, Alumni, Bandung.
Sunariyah, 2004, Pengantar Pengetahuan Pasar Modal, Edisi ke Empat, UPP-AMP YKPN, Yogyakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 108
Jurnal
Adam Graycar, Aiden Sidebottom, 2012, Corruption and control: a corruption reduction approach, Journal of Financial Crime, Vol. 19 Issue: 4, Pages 384-399.
Becker, G.S., Stigler, G.J., 1974. Law enforcement, malfeasance, and the compensation of enforcers. Journal of Legal Studies 3 (1), Pages 1–18.
La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., Vishny, R.W., 1999, The quality of government, Journal of Law, Economics and Organization 15 (1), Pages 222–279.
Taswan dan Soliha,2002, Pengaruh Kebijakan Hutang Terhadap Nilai Perusahaan Serta Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya. Junrnal Ekonomi dan Bisnis, STIE Stikubank, Semarang.
Weingast, B.R., 1995, The economic role of political institutions : market-preserving federalism and economic development. Journal of Law, Economics, and Organization 11 (1), Pages 1–31.
DOI: http://dx.doi.org/10.24014/hi.v17i2.4257
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Index By:
Hukum Islam (Print- ISSN: 1411-8041) and (E-ISSN : 2443-0609)
Published by Faculty of Sharia and Law State Islamic University Of Sultan Syarif Kasim Riau
Mailing Adress: Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
H. R. Soebrantas Street, No.155 KM 18, Kelurahan Tuah Madani, Kecamatan Tuah Madani
Pekanbaru - Riau, 28293
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License.